Mozaik Peradaban Islam

Pakistan (17): Sejarah dan Dinamika Kenegaraan (4)

in Negara Islam

Last updated on January 13th, 2019 11:16 am

Instablitas di level elit Pakistan bukan hanya disebabkan faktor internal karena gagalnya konsolidasi demokrasi, tetapi juga turut dipengaruhi kehadiran AS yang membiarkan kudeta dan mendukung pemerintahan diktator militer.

Sejarah dan dinamika Pakistan tampak tidak selalu mulus, melainkan acap berkelok-kelok dan tragis. Selain di level masyarakatnya, terutama kelokan dan ketragisan itu terjadi di level elitnya wabilkhusus dalam konteks sirkulasi kepemimpinan. Sebab, meski telah melakukan mekanisme pemilihan umum, tetapi pemerintahan sipil Pakistan hasil pemilihan umum itu berkali-kali digulingkan faksi militer.

Setidaknya ketika Uni Soviet masih eksis, hanya satu kali parlemen Pakistan berhasil menuntaskan termin 5 tahun kepemimpinannya, yaitu pada masa pemerintahan Jenderal Pervez Musharraf yang waktu itu menjabat sebagai presiden sekaligus panglima militer.[1] Artinya selain Pervez, tiada lagi pemimpin Pakistan yang menyelesaikan termin 5 tahun pemerintahan.

Presiden Pervez Musharraf bertemu dengan Presiden AS George W. Bush di Gedung Putih untuk membahas persoalan Taliban pada tahun 2006. Photo: Win McNamee/Getty Images

Selain terjadi praktik kudeta beberapa kali dan konflik, tidak sedikit pula di antara para pemimpin Pakistan yang diasingkan, celaka, bahkan mati terbunuh. Presiden pertama mereka, Iskandar Mirza, yang terpilih 1956 turun tahta akibat instabilitas politik di dalam partai dan kabinetnya.[2]

Pada masa kepemimpinan Iskandar Mirza yang hanya dua tahun itu, Pakistan mengalami empat kali pergantian perdana menteri. Total sejak Pakistan berdiri tahun 1947 sampai 1958, negara itu memiliki enam perdana menteri yang naik dan turun.

Pada 1958, Mirza digulingkan dan kursi presiden diduduki panglima militer Ayub Khan.[3] Pada masa ini, situasi politik dalam negeri relatif stabil meski Khan menekankan kebijakan luar negeri pro-Amerika Serikat (AS) sehingga hubungannya dengan Uni Soviet dan India, memburuk. Namun, di luar itu, perekonomian Pakistan tampak lebih berkembang berkat kebijakan swastanisasi dan industrialisasi.[4]

Dalam pemilihan umum 1965, Fatima Jinnah – saudara kandung pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah – memenangi popular vote, sedangkan Ayub Khan memenangi electoral vote. Namun, sebagian besar warga Pakistan yakin, Khan dan mesin politiknya telah melakukan kecurangan besar-besaran di berbagai daerah.[5]

Dalam suasana ketidakpercayaan itu, pemimpin muda Zulfiqar Ali Bhutto dari Partai Rakyat Pakistan (PPP) memimpin demonstrasi memprotes kenaikan harga bahan kebutuhan pokok dan kelangkaan pangan. Di pihak lain, muncul pula Mujibur Rahman, politisi yang sedang naik daun di Pakistan Timur.[6]

Akibat tidak mampu meredam gejolak sosial, pada 1969 Ayub Khan digulingkan panglima militer Yahya Khan. Pada pemilihan umum 1970, PPP meraih suara terbanyak di Pakistan Barat (pusat pemerintahan Pakistan), sedangkan Liga Awami memenangi seluruh kursi di Pakistan Timur (cikal bakal Bangladesh).[7]

Rupanya dua kubu politik itu berseteru. Liga Awami cenderung memihak India ketika India dengan Pakistan (Barat) berperang terkait Pakistan Timur. Singkat cerita karena Pakistan Barat kalah, maka Pakistan Timur memilih memisahkan diri dan berdirilah Bangladesh yang dipimpin presiden pertamanya, Mujibur Rahman.[8]

Sejak Desember 1971, Pakistan dipimpin Zulfiqar Ali Bhutto pasca Yahya Khan menyerahkannya. Lalu Zulfiqar mengubah konstitusi dan menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada perdana menteri. Akan tetapi persoalannya, perekonomian Pakistan melemah. Akhirnya meski PPP memenangkan pemilihan umum, tetapi pada 1977, panglima militer Jenderal Zia ul-Haq mengkudeta dan menuduh Zulfiqar telah melakukan pembunuhan politik. Zulfiqar Ali Bhutto dihukum gantung pada 1979.[9]

Pada masa ini, Uni Soviet – rival AS dalam Perang Dingin waktu itu – menduduki Afghanistan – negara tetangga Pakistan, sehingga Pakistan yang didukung AS membantu perjuangan kelompok Mujahidin di Afghanistan. Pada 1989, Uni Soviet menarik pasukannya dari Afghanistan. Hal ini memicu perang saudara di Afghanistan sehingga terjadi gelombang pengungsian jutaan warganya ke Pakistan.[10]

Meski menerapkan kepemimpinan diktator, tetapi perkembangan perekonomian Pakistan tampak pesat. Tragisnya, Zia malah tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat di daerah Bahawalpur bersama dua diplomat AS dan beberapa pejabat militer Pakistan.[11]

Pada 1988, Benazir Bhutto – putri Zulfiqar Ali Bhutto – memenangkan pemilihan umum dan menjadi perempuan pertama yang memimpin Republik Islam Pakistan. Namun, pada pemilihan umum 1990, dia dikalahkan Nawaz Sharif kendati sebagian besar publik Pakistan yakin, Benazir telah dicurangi secara besar-besaran oleh faksi militer dan intelijen.[12]

Pada pemilihan umum 1993, Benazir kembali memenangkan pemilihan umum. Namun, dia mendapat tiga ujian berat. Kesatu, Murtaza, saudara laki-lakinya, terbunuh. Kedua, Benazir mengalami percobaan kudeta. Ketiga, Asif Ali Zardari, suaminya, diterpa skandal korupsi.[13]

Pada pemilihan umum 1997, Benazir kalah. Dia pun diasingkan ke Dubai. Pada 2001, Jenderal Pervez Musharraf mengambil kekuasaan dan menjadi Presiden Pakistan. Selain menarik dukungannya dari rezim Taliban di Afghanistan, Pakistan pun mendukung perang melawan teror yang dipimpin AS pasca terjadi Tragedi Serangan 11 September 2001.[14]

Atas inisiatif AS, pada Desember 2007, Musharraf mengizinkan pemulangan Benazir dari pengasingan. Pasca pulang, Benazir berkampanye pada pemilihan umum 2008. Namun, pada masa kampanye itu, Benazir Bhutto tewas bersimbah darah akibat ledakan bom di Rawalpindi, persis di lokasi terbunuhnya Perdana Menteri Pakistan pertama Liaquat Ali Khan, 55 tahun silam.

Pada 2008, Musharraf dimakzulkan dan diganti Asif Ali Zardari – suami almarhumah Benazir Ali Bhutto. Pada 2010, parlemen mengalihkan kekuasaan eksekutif ke tangan perdana menteri Yousouf Raza Gilani. Saat itu, hubungan Pakistan-AS merenggang. Sebab, tanpa seizin Pakistan, pasukan khusus AS menyerbu Osama bin Laden di Abbottabad, Pakistan. Dikabarkan, Osama tewas.[15]

Di dalam negeri, hubungan pemerintah dengan militer, memburuk. Gilani dimakzulkan dan diganti Raja Pervez Ashraf. Di era ini, aksi-aksi teror bom rezim Taliban dari Afghanistan merebak di Pakistan. Pada Januari 2013, Mahkamah Agung Pakistan memerintahkan penahanan Perdana Menteri Raja Pervez Ashraf karena terbukti korupsi sewaktu sebelumnya menjabat menteri.[16]

Selanjutnya, parlemen mengesahkan Nawaz Sharif sebagai perdana menteri karena Liga Muslim – partai yang dipimpinnya – memenangkan pemilihan umum Mei 2013. Namun, dengan tuduhan korupsi, Juli 2018 hanya beberapa pekan menjelang pemilihan umum, Nawaz Sharif dan puterinya yaitu Maryam, dijebloskan ke penjara.[17]

Akhirnya bolehlah disimpulkan, pengalaman Pakistan menunjukkan bahwa konsolidasi demokrasi di negara yang baru terbentuk pertengahan abad ke-20 pasca dijajah Inggris itu, kedodoran. Partai-partai politik di negara itu yang kurang demokratis dan kurang responsif seolah membentangkan jalan bagi munculnya kudeta dan kepemimpinan yang diktator.[18] Inilah faktor internal, sehingga sejarah negara Pakistan acap mengalami instabilitas.

 

Faktor Amerika Serikat

Namun, selain disebabkan faktor internal, penting dikemukakan bahwa tampaknya hal itu pun turut disebabkan faktor eksternal, yaitu faktor Amerika Serikat (AS). Sebab, sebagai pemenang Perang Dunia II yang seolah ‘memegang mandat’ mengatur Pakistan pasca ditinggalkan penjajah Inggris, pengaruh AS di Pakistan demikian besar. Singkat kata, AS ialah negara yang harus dikenakan tanggung jawab atas munculnya kediktatoran di Pakistan. Kenapa?

Sebab, pengaruh AS di Pakistan tampak dominan dibanding pengaruh negara-negara lainnya. Lantaran berkepentingan atas pengerahan kekuatan militer Pakistan guna menangkal pengaruh Uni Soviet di kawasan itu terutama di Afghanistan dan dalam menangkal terorisme, maka ada kecenderungan, pemerintah Negeri Paman Sam lebih mendukung pemerintah diktator militer di Pakistan.[19]

Dukungan AS terhadap pemerintah diktator militer Pakistan bukan hanya dibenarkan nalar kepentingan politik yang menyatakan bahwa AS membutuhkan kekuatan militer Pakistan untuk mengeliminir pengaruh Uni Soviet di Afghanistan dan dalam menanggulangi terorisme, tetapi juga dibenarkan oleh beberapa hal.

Kesatu, AS menjalin hubungan baik dengan faksi militer Pakistan. Kedua, AS acap memberi bantuan peralatan militer kepada Pakistan. Ketiga, AS cenderung membiarkan terjadinya instabilitas dan kudeta militer di Pakistan. Keempat, beberapa kali AS menjalin hubungan mesra dengan pemimpin Pakistan dari faksi militer yang berkuasa setelah melakukan kudeta. (MDK)

Bersambung ke:

Pakistan (18): Perang Sipil dan Disintegrasi

Sebelumnya:            

Pakistan (16): Sejarah dan Dinamika Kenegaraan (3)

Catatan Kaki:

[1] “Jejak Pakistan” dalam https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20180721/281479277199912. Diakses di Cianjur, 11 Januari 2019.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ivan Doherty. “Democracy Out of Balance: Civil Society Cant’t Replace Political Parties” dalam National Democratic Institute (NDI) For International Affairs, Policy Review Journal, April & Mei 2001. Hlm 30-31.

[19]   Op.Cit., “Jejak Pakistan”…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*