Mozaik Peradaban Islam

Pengantar Teosofi Islam (14): Cahaya di Atas Cahaya (1): Huwa dan Allah

in Studi Islam

Last updated on May 29th, 2020 11:13 am

Al-Ghazali berkata, “Bahkan setiap kali engkau menunjuk ke arah tertentu, maka dalam hakikatnya engkau menunjuk kepada-Nya, meskipun engkau tidak mengenal-Nya.”

Foto ilustrasi: woodenboxlwp.co

Lalu, bagaimana Allah mengungkapkan Diri-Nya di dalam Alquran? Adakalanya Allah berbicara tentang Diri-Nya dengan menggunakan istilah Dia (هو), meskipun paling sering Dia menggunakan istilah Allah (الله).

Sebagian mufasir berpendapat, penggunaan Dia dalam ayat-ayat Alquran ialah untuk menunjukkan ketinggian dan ketakterjangkauan Realitas-Nya, sedemikian rupa sehingga Realitas itu hanya bisa dirujuk sebagai persona ketiga. Allah berfirman:

Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Esa; Allah yang bertumpu kepada-Nya segala sesuatu; Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan; dan tiada suatu apa pun yang menyetarai-Nya.” (QS. al-Ikhlash).

Dalam ayat Kursi, Dia berfirman:

Allah yang tiada tuhan melainkan Dia, bersifat Hidup dan terus-menerus Tegak (mengurusi makhluk-makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Dia  tanpa seizin-Nya? Dia mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali yang dikehendaki-Nya. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi, dan Dia tidak keberatan memelihara keduanya. Dan Dialah yang Mahatinggi lagi Maha Agung. (QS. al-Baqarah: 255).

Dalam ayat ini, secara metaforis Allah berbicara tentang sedemikian banyak hal, khususnya tentang Kursi yang melambangkan kekuasaan-Nya yang Tak-terbatas. Lalu Allah menutup ayat tersebut dengan ungkapan “Dan Dialah yang Mahatinggi lagi Maha Agung”.

Hal ini agar kita kembali melakukan tanzîh, yakni menyatakan bahwa Dia tidak bisa dibandingkan dan ditamsilkan dengan segala yang ada, karena Dia menciptakan segala-galanya, meliputi segala-galanya dan di atas segala-galanya.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 115, Allah berfirman:

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun engkau menghadap, di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Maha Meliputi) dan Maha Mengetahui.”

Dalam menjelaskan ayat di atas, al-Ghazali bertutur:

“Dengan demikian, lâ ilaha illa huwa (tidak ada ilah kecuali Dia). Sebab, ‘dia’ adalah ungkapan tentang sesuatu yang kepadanya diarahkan penunjukan (isyarat). Bagaimanapun juga, tidak akan ada penunjukan kecuali kepada-Nya.

“Bahkan setiap kali engkau menunjuk ke arah tertentu, maka dalam hakikatnya engkau menunjuk kepada-Nya, meskipun engkau tidak mengenal-Nya disebabkan kelalaianmu tentang ‘Hakikat segala hakikat’ seperti telah kami sebutkan sebelum ini.

“Tak seorangpun akan menunjuk ke arah ‘cahaya matahari’ (untuk memperkenalkan sumber cahaya-penulis), tapi tentunya ke arah ‘matahari’ itu sendiri. Maka, kedudukan seluruh yang ada dalam wujud ini, dalam hubungannya dengan Allah SWT, dapat ditamsilkan dengan hubungan cahaya kepada matahari.

“Dengan demikian, ‘tiada tuhan kecuali Allah’ (lâ ilaha illallah) adalah tauhidnya kaum awam, sedangkan ‘tak ada dia kecuali Dia’ (lâ ilaha illa huwa) adalah tauhidnya kaum khusus. Sebab, pernyataan pertama besifat lebih umum, sedangkan pernyataan kedua bersifat lebih khusus, lebih meliputi, lebih benar, lebih tepat dan lebih dekat kepada ‘ketunggalan dan keesaan murni’.”[1]

Hubungan antara Allah dan Huwa ditegaskan oleh Alquran dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 18:

Allah telah bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan melainkan Dia yang Menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Pada saat-saat pertempuran Badar, diriwayatkan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra senantiasa membaca kalimat:

“يا هو من لا هو الاّ هو”  

(Wahai Dia yang tiada dia kecuali Dia).[2]

Saat menafsirkan kata Huwa (Dia) dalam surah al-Ikhlash, Muhammad al-Baqir menyatakan:

“Kata ه (hâ) bermakna penegasan atas sesuatu yang nyata, sedangkan kata و (waw) bermakna sesuatu yang tidak tampak oleh indera. ”[3]

Jadi, dalam istilah Huwa (Dia) terkandung makna penegasan atas sesuatu yang Nyata sekaligus penafian atas ketampakan-Nya secara inderawi. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya, Mizan 1993, hal. 47-48.

[2] Muhsin al-Faydh al-Kasyani, Op.Cit., hal. 74.

[3] Ibid. 73-74.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*