Mozaik Peradaban Islam

Pengantar Teosofi Islam (5): Tentang Wujud dan Kemaujudan (5): Wilayah Bahasa dan Pengetahuan Manusia

in Studi Islam

Last updated on April 15th, 2020 01:34 pm

Cara paling mungkin untuk mengenal Wujud Mutlak ialah dengan meminta kepada-Nya memperkenalkan Diri-Nya. Agama adalah wilayah pengungkapan Ilahi.

Foto ilustrasi: Agato Translation

Maujud Mutlak berada di luar cakrawala pengetahuan dan pengalaman manusia. Data yang ada pada ilmu pengetahuan manusia hanya memungkinkan cakrawala itu bergeser, sehingga medan pemahaman tentangnya makin bertambah.

Ibarat “katak dalam tempurung”, manusia tidak akan pernah mengetahui keseluruhan wujud di luar cakrawalanya; dia hanya bisa berupaya mengintip lewat celah-celah yang terdapat pada lapisan atas tempurung.

Makin getol ia mengintip lewat celah-celah yang terdapat pada lapisan atas tempurung, makin hanyut ia dalam kekaguman dan ketakjuban, ketakberdayaan dan keletihan. Ia akan menyaksikan bahwa apa yang disebutnya dengan atap itu sebenarnya hanyalah lapisan pertama dari atap yang di atasnya dan demikian seterusnya.

Sekaitan dengan kaidah di atas, Allah berfirman:

“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah dan letih. (QS 67: 4).

Senada dengan itu, Sayidina Ali bin Abi Thalib RA berkata:

فمن فرّغ قلبه و أعمل فكره  ليعلم كيف أقمت عرشك  و [كيف] ذرأت خلقك  و كيف علّقت في الهواء سماواتك و كيف مددت على مور الماء أرضك;  رجع طرفه حسيرا ً و عقله مهبورا ً و سمعه والها ً  و فكره حائرا ً

“Siapa saja yang memusatkan seluruh perhatiannya dan memutar otaknya dengan cara apa pun untuk mengetahui bagaimana Engkau menegakkan ‘arsy-Mu, menciptakan segala ciptaan, membentangkan bumi di atas gelombang air…, siapa saja yang berusaha mengetahui itu semua, pandangannya pasti akan kembali dengan kegagalan, dalam keadaan letih lesu, akalnya tercengang terpesona, pendengarannya kebingungan, dan pikirannya terheran-heran.”[1]

Dalam bahasa matematika, atap itu disebut dengan limit dan didefinisikan sebagai a value toward which terms of a sequence or values of a function approach indefinitely near (nilai-nilai suatu fungsi yang terus-menerus mendekati tujuan yang tak berhingga). Imajinasi dan pengalaman manusia akan senantiasa terdorong untuk mendekati ambang limit, tetapi ia takkan pernah bisa melampauinya.

Ambang limit itu sendiri adalah ungkapan untuk suatu Kesempurnaan yang tak-terbatas dan tak-terperikan. Kehendak untuk melampaui ambang ini tak lain adalah upaya semua makhluk untuk keluar dari “tempurung” kelemahan dan ketaksempurnaan dirinya.

Akan tetapi, begitu ia keluar dari ambang itu, ia akan tertelan dalam Kekosongan ¾jatidiri eksistensialnya akan lenyap dalam Ketakterbatasan. Pada saat itu, sesuatu memudar dan tak lagi dapat didefinisikan secara eksak.

Inilah yang oleh sebagian ahli makrifat disebut dengan fanâ, mengikuti firman Allah yang berbunyi: “Semua yang berada di alam (ciptaan) akan merasakan fanâ (musnah binasa). Dan tetap kekal lah Wajah Tuhanmu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.” (QS 55: 26-27)

Bahasa sebagai hasil pengalaman manusia tidak akan bisa menangkap Ketakterbatasan, karena hal itu bertentangan dengan kodrat penalaran manusia yang cenderung memahami sesuatu dengan cara mengurai (to analyze) dan membatasi (to define). Sesuatu yang tak terungkap (ineffable) dan tak terbatas (indefinite), pastilah tak teruraikan (unanalysable).

Dan sesuatu yang tak teruraikan pada hakikatnya tidak mungkin dicerap oleh perangkat pengetahuan dan pengalaman manusia. Wujud Mutlak atau Pewujud berada di luar wilayah analisis dan definisi, observasi atau verifikasi; Ia hanya bisa diumpamakan dan dibayangkan, disembah dan dipuji, diagungkan dan diseru dengan keimanan dan penghambaan.

Grafik 1: Gana Islamika
Grafik 2: Gana Islamika

Melukiskan betapa tak mungkinnya mengenali Hakikat ilahiah itu, Rasulullah saw pernah bersabda:

“Sesungguhnya pada Allah terdapat tujuh puluh ribu hijab dari cahaya dan kegelapan. Bilamana Dia menyingkapkan salah satunya, maka hanguslah rona-rona wajah ciptaan yang sempat melihat-Nya.”

Dengan demikian, Pewujud itu memang tak mungkin menyingkapkan seluruh lapisan, derajat dan hijab Hakikat-Nya; bukan karena kelemahan dan kekurangan pada-Nya, melainkan karena kelemahan dan ketakmampuan seluruh maujud ciptaan untuk mencerap-Nya secara langsung dan utuh. Apabila suatu ciptaan yang berada di tingkat rendahan saja sudah tidak mungkin mencerap hakikat ciptaan yang berada di atasnya, bagaimana mungkin ia mencerap hakikat Pewujudnya?!

Bayangkan: apa yang bisa dikatakan oleh buih-buih tentang samudera? Ungkapan apa yang kira-kira akan digunakan oleh buih-buih untuk menjelaskan dan menguraikan samudera? Perangkat apa yang akan digunakan oleh buih-buih mengenal dan mencerap samudera?

Bukankah buih-buih itu akan segera kehilangan identitas mereka begitu menyadari bahwa mereka sebenarnya hanyalah buih-buih tak berarti dalam samudera yang tidak bertepi?! Bagaimana mungkin buih-buih itu merumuskan hakikat samudera secara eksak, kalau untuk mendefinisikan gelombang-gelombang ombak saja mereka sudah tidak berdaya?

Struktur dan logika bahasa ke-buih-an hanya mampu mendefinisikan dan mempersepsi sesama buih, itu pun dalam tingkat pemahaman yang semu. Tiap-tiap buih mengalami kehadiran samudera dalam keseluruhan dirinya secara langsung dan konstan, sehingga tak mungkin lagi ia menangkap gagasan tentang hakikat samudera dalam pengalaman ke-buih-an yang amat terbatas itu.

Oleh sebab itu, cara paling mungkin untuk mengenal Wujud Mutlak ialah dengan meminta kepada-Nya memperkenalkan Diri-Nya. Agama adalah wilayah pengungkapan Ilahi. Di dalam kalam dan wahyu ilahi yang terdapat dalam agama Wujud Mutlak atau Allah itu memperkenalkan Diri-Nya dalam bahasa perumpamaan (matsal atau mitsl) dan tanda (âyah) yang bisa dipahami oleh pikiran manusia.

Hanya dengan cara demikian Sang Mutlak itu dapat kita kenali dan kita sapa, kita seru dan kita ingat, kita hadirkan dalam kalbu dan kita cintai. Dalam sebuah doanya, Muhammad bin Hasan bermunajat:

اللهمّ عرّفني نفسك فانّك إن لم تعرّفني نفسك لم أعرف رسولك،

 اللهمّ عرّفني رسولك فإنّك إن لم تعرّفني رسولك  لم أعرف حجّتك،

اللهمّ عرّفني حجّتك فانّك إن لم تعرّفني حجّتك ضللت عن ديني.

“Ya Allah, perkenalkanlah daku kepada Diri-Mu, sesungguhnya bila Engkau tidak memperkenalkanku kepada Diri-Mu, maka aku takkan mengenal utusan-Mu. Ya Allah, perkenalkanlah daku kepada utusan-Mu, sesungguhnya bila Engkau tidak memperkenalkanku kepada utusan-Mu, maka aku takkan mengenal hujjah-Mu. Ya Allah, perkenalkanlah daku kepada hujjah-Mu, sesungguhnya bila Engkau tidak memperkenalkanku kepada hujjah-Mu, maka aku takkan mengenal agama-Mu.”

Untuk memperkenalkan Diri-Nya, Allah menciptakan tanda-tanda dan perumpamaan-perumpamaan. Dengan tanda dan perumpamaan ini Allah menyingkapkan Diri-Nya kepada segala sesuatu. Sebagai contoh, ketika A bergerak kita mengetahui bahwa gerakan A adalah proses yang mesti dilalui oleh A untuk menuju kepada kesempurnaannya.

Dari kesimpulan ini kita memahami bahwa pusat yang dituju oleh benda-benda yang bergerak ini tidaklah mungkin bergerak-gerak, karena hal itu akan menggugurkan asumsi bahwa gerakan itu adalah proses penyempurnaan.

Maka itu, mestilah kita simpulkan bahwa gerakan semua benda menuju kepada Pusat yang tidak bergerak, yakni Wujud yang Mahasempurna, sehingga Wujud itu kita sebut Penggerak yang tidak bergerak (The Unmovable Mover atau Prime Mover).

Contoh lain, bila kita melihat seorang ibu tergopoh-gopoh mendengarkan tangisan  anaknya, kita menyadari bahwa ibu ini terikat oleh kecintaan kepada anaknya. Lalu kita menyimpulkan bahwa kecintaan adalah suatu sifat yang sempurna, dan di balik kecintaan ibu pada anak ini ada kecintaan yang lebih besar dan lebih mutlak.

Lalu kita mencari asal-usul sifat sempurna ini pada manusia, bagaimana munculnya, dan apa saja yang menumbuhkannya hingga kita sampai pada Sumber kecintaan yang Mutlak dan Abadi. Hal yang sama juga berlaku pada keindahan, kekuasaan, keadilan, dan sebagainya. Pengetahuan semacam ini tidak mungkin ada bilamana Allah tidak “membeberkan” Diri-Nya di alam ciptaan.

Walaupun demikian, ciptaan tetap tidak akan pernah sepenuhnya memahami ke-Pencipta-an dalam bahasa dan pengalaman ciptaan yang sangat terbatas. Sejauh apapun, buih tidak akan bisa menangkap hakikat samudera yang sedemikian luas dan tak-bertepi.

Buih tidak akan dapat sepenuhnya mengerti bagaimana samudera menampung dan menghidupi berjuta-juta makhluk, menciptakan berjuta-juta buih secara terus-menerus dan sebagainya dan sebagainya. Realitas ke-samudera-an hanya bisa dipahami oleh buih dalam bahasa perumpamaan dan tanda.

Haidar Amuli menulis:

“Ketika manusia mencoba mendekati Wujud melalui daya nalarnya[2] yang lemah dan pikirannya yang goyah, kebutaan dan kebingungannya akan semakin bertambah.”[3]

Dengan nada yang sama, Mahmud Syabastari mengungkapkan:

Buanglah nalar, berpeganglah selalu pada Realitas

Karena mata seekor kelelawar takkan mampu menatap matahari.

Dalam komentarnya atas sajak di atas, Muhammad Lahiji menyatakan bahwa penalaran yang mencoba menatap Realitas Mutlak sama seperti mata yang mencoba menatap matahari. Meskipun dari kejauhan, kilauan dahsyat cahaya matahari akan membutakan mata penalaran. Dan setiap kali mata penalaran menaiki tahap-tahap Realitas yang lebih tinggi dan pelan-pelan menghampiri wilayah metafisikal Wujud Mutlak, kegelapan akan makin mengental hingga pada akhirnya segala sesuatu berubah menjadi hitam-pekat.[4]

Oleh sebab itu, Alquran yang merupakan wahyu Allah yang penuh dengan ungkapan-ungkapan perumpamaan dan permisalan. Alquran menyebut seluruh ciptaan sebagai عالم yang berakar pada kata ع ل م yang bisa bermakna ilmu (عِلم) atau tanda (علامة). Manakala manusia mengamati tanda, bertambahlah ilmu pengetahuannya. Akan tetapi, hakikat ilmu manusia itu sendiri hanyalah bias dan bekas Pengetahuan Dzat yang Maha Mengetahui.

Alam (عالم), kata Al-Raghib Al-Ishfahani, adalah pertanda. Dan karena jenis dan sifatnya bermacam-macam, maka alam pun bermacam-macam. Karena itu, untuk jenis dan sifat tumbuhan, kita dapat menyebut alam tumbuhan, begitu pula dengan alam binatang, alam manusia, alam api, alam air, dan sebagainya.

Alquran mencantumkan kata ‘âlam dalam bentuk jamak (‘âlamîn) justru untuk menunjukkan banyaknya jenis tanda yang diciptakan oleh Allah. Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS 1: 2). Dalam suatu riwayat, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki beberapa belas ribu alam.”[5] (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan 1993, hal. 26.

[2] ‘Aql secara harfiah berarti mengikat atau membuhul, dan daya akal (al-quwwah al-‘âqilah) dalam sebagian teks tasawuf berarti daya nalar manusia yang bersifat membatasi. Ini harus dibedakan dengan istilah akal yang kerap dipakai dalam Alquran dan hadis.

[3] Haidar Amuli, Risâlah Naqd al-Nuqûd, suntingan Henry Corbin dan Osman Yahya, Paris 1969, hal. 625.

[4] Muhammad Lahiji, Syarh-e Gulsyan-e Râz, hal. 94-97.

[5] Abu al-Qasim al-Raghib al-Isfahani, Op. Cit., entri ع ل م.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*