Mozaik Peradaban Islam

Pengantar Teosofi Islam (6): Tingkat-tingkat Wujud (1): Kebertingkatan Cahaya Wujud

in Studi Islam

Last updated on April 20th, 2020 01:50 pm

Pewujud atau Tuhan yang berada di puncak Kesempurnaan tidak mungkin “mencurahkan” kesempurnaan Cahaya-Nya secara seragam dan setara pada segala sesuatu, mengingat kemampuan tiap-tiap maujud berbeda-beda dan bertingkat-tingkat.

Foto: amusuKedA

Cahaya Wujud memancar kepada segenap maujud secara bertingkat-tingkat, sesuai dengan prinsip Kebijakan (hikmah), Kekuasaan (qudrah), dan Keadilan (‘adl). Tingkat dan derajat kesempurnaan setiap maujud (marâtib al-kamâlât al-wujûdiyyah) sesuai dengan kemampuan tiap-tiap maujud itu sendiri.

Derajat kesempurnaan ini harus dimengerti sebagai kelemahan dan kekurangan maujud untuk menyerap pancaran cahaya Wujud Pencipta, bukan sebagai kelemahan dan kekurangan dalam pancaran cahaya penciptaan atau pewujudan ilahi.

Allah berfirman, “Jika mereka faqîr, Allah akan memperkaya mereka dengan keutamaan (fadhl) dari-Nya. Dan Allah Mahaluas (dalam keutamaan) lagi Maha Mengetahui. (QS 24: 32). Dengan demikian, semua maujud yang pada hakikatnya adalah faqîr dan bergantung menerima keutamaan dan kesempurnaan Dzat yang Mahaluas sesuai dengan Pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Sebagian ahli hikmah menyebut kebertingkatan ini dengan istilah tafâdhul (تفاضل). Tafâdhul dapat diartikan sebagai keadaan atau perihal tersusunnya sesuatu dalam beragam tingkatan keutamaan dan kesempurnaan. Kata tafâdhul berakar dari kata فضل yang mempunyai arti kelebihan dan keutamaan.

Jadi, istilah ini menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal keutamaan, kesempurnaan, kebaikan, keindahan, ketinggian, kemampuan, dan lain sebagainya. Semua kesempurnaan mempunyai sifat yang bertingkat-tingkat dan muncul dalam derajat yang berbeda-beda; mulai dari yang paling puncak dan bersifat identik dengan kesempurnaan itu sendiri sampai yang paling rendah dan menegasikan kesempurnaan tersebut.[1]

Allah berfirman, “Tetapi Allah mempunyai keutamaan atas alam semesta.” (QS 2: 251).

Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Katakanlah: sesungguhnya keutamaan itu di tangan Allah, Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki…” (QS 3: 73).

Allah berfirman, “…Dan Dia memberikan tiap-tiap yang memiliki keutamaan (imbalan atau imbangan)keutamaan dari-Nya.” (QS 11: 3).

Dalam surah an-Nisa ayat 32, Allah berfirman, “Dan janganlah kalian iri atas apa yang Allah utamakan bagi sebagian kalian atas sebagian lain…. Dan mintalah dari Allah sebagian dari keutamaan-Nya…

Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Dan Allah mengutamakan sebagian kalian dari sebagian yang lain dalam hal rezeki…” (QS 16: 71).

Khusus menyangkut tingkatan pengetahuan, Allah berfirman, “Kami meninggikan derajat-derajat siapa saja yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap yang mengetahui ada yang Maha Mengetahui.” (QS 12: 76).Dalam semua ayat itu dan yang senada dengannya, Allah berbicara tentang tingkatan-tingkatan kesempurnaan yang tercurah pada segala sesuatu.

Teori tafâdhul dapat disederhanakan dengan melihat pada contoh cahaya. Cahaya adalah suatu fakta yang bergradasi selaras dengan spektrum frekuensi dan intensitasnya. Cahaya monokromatis dengan panjang gelombang 400 per seribu-juta meter dengan intensitas 10 watt tiap meter perseginya – yang tertangkap oleh mata manusia sebagai cahaya ungu dengan terang sedang – berbeda dengan cahaya multi-warna atau polikromatis yang terdiri atas banyak frekuensi yang memancar dari matahari dengan intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan jarak-tempuhnya dari matahari.

Perbedaan tingkat atau gradasi cahaya ini bersifat tak berhingga, selaras dengan ketakberhinggaan kemungkinan frekuensi dan ketakberhinggaan kemungkinan intensitas masing-masingnya. Perbedaan antara matahari dan lampu pada hakikatnya terletak pada tingkat kesempurnaan dan kecemerlangan cahaya keduanya.

Menurut teori tafâdhul, kesempurnaan ilahi itu pun demikian: dari satu segi, semua maujud itu sama-sama memiliki kesempurnaan; tetapi dari segi lain tiap-tiap maujud memiliki tingkatan-tingkatan dalam kemampuan menerima kesempurnaan.

Pewujud atau Tuhan yang berada di puncak Kesempurnaan tidak mungkin “mencurahkan” kesempurnaan Cahaya-Nya secara seragam dan setara pada segala sesuatu, mengingat kemampuan tiap-tiap maujud berbeda-beda dan bertingkat-tingkat.

Pada tingkatan maujud yang disebut manusia, kemampuan ini dapat berkembang dan meningkat secara terus-menerus tanpa batas. Sebaliknya, pada tingkatan maujud tanaman, meski terdapat perkembangan dan peningkatan dalam kemampuan menerima rahmat kesempurnaan sehingga ia bisa memanjang dan tumbuh subur, tanaman tidak akan lebih daripada tanaman. Begitupula halnya dengan batu-batuan dan benda-benda padat lainnya. (MK)

Grafik: Gana Islamika

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lebih jauh, rujuk: William Chittick, The Sufi Path of Knowledge, State University of New York Press 1989, hal. 8.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*