Mozaik Peradaban Islam

Pengantar Teosofi Islam (9): Tingkat-tingkat Wujud (4): Syariat, Tarikat, dan Hakikat

in Studi Islam

Last updated on May 6th, 2020 02:21 pm

Ibadah ritual-formal adalah satu-satunya pintu yang ditetapkan oleh Allah untuk menuju pada penghayatan ruhani dan pencapaian makna dalam tarikat.

Foto ilustrasi: Madrasat El-Quran

Para pemikir Islam menyebutkan bahwa Islam memiliki aspek formal berupa tanda-tanda yang terlihat, aspek substansial berupa makna-makna dan terakhir adalah hakikat Islam berupa pengesaan (tauhîd) kepada Allah dan penghambaan dalam diri.

Inilah yang oleh para sufi disebut dengan aspeksyariat(syari’ah), tarikat (tharîqah) dan hakikat (haqîqah).

Syariat mengandung jalan-besar untuk mengantarkan kita bertarikat (jalan-kecil) menuju Hakikat. Syariat ialah aturan-aturan formal dan eksternal; tarikat adalah jalan perenungan dan penghayatan spiritual; dan hakikat adalah ketulusan dan keikhlasan dalam menghamba kepada Allah.

Dengan demikian, syariat adalah kulit bila dibandingkan dengan tarikat, dan tarikat adalah isi atau substansinya. Begitu pula, tarikat adalah kulit bila dibandingkan dengan hakikat, dan hakikat adalah substansinya.

Menariknya, dalam bahasa Arab, kata hakikat (حقيقة) sesungguhnya mempunyai pengertian kenyataan (reality) dan kebenaran (truth). Makna hakikat mempertautkan kebenaran formal-logis dengan kenyataan aktual-objektif, sehingga memberikan makna kebenaran yang seutuhnya.

Orang yang telah menemukan hakikat sesuatu takkan pernah ragu atau lalai, lantaran dia telah menyatukan kebenaran dengan kenyataan, pengetahuan dengan kehadiran. Dia telah menangkap keseluruhan, dan bukan sekadar bagian-bagian. [1]

Akan tetapi, untuk menembus kepada makna-makna yang terkandung dalam tarikat, orang harus terlebih dahulu memasuki pintu syariat. Bahkan, ibadah ritual-formal adalah satu-satunya pintu yang ditetapkan oleh Allah untuk menuju pada penghayatan ruhani dan pencapaian makna dalam tarikat.

Allah berfirman: “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.” (QS 15: 98-99).

Tasbih, sujud dan ibadah yang dijelaskan ayat di atas memiliki dua aspek: aspek formal-ritual dan aspek maknawi-rohani. Aspek formal-ritual tasbih berbentuk bacaan-bacaan tertentu seperti subhânallah, sujud berupa kegiatan meratakan dahi di atas tanah, dan ibadah berupa salat, puasa, zakat, haji dan pelbagai amalan wajib dan sunah lainnya yang bersifat fisik.

Aspek maknawi-ruhani dari tasbih adalah sikap menyucikan Allah dari segala sifat cacat dan kurang, sujud adalah sikap ketundukan dan penghormatan, dan ibadah adalah sikap penghambaan dan pengabdian tulus kepada Allah.

Kedua aspek ini saling bertalian dan saling memperkuat, sedemikian sehingga kedua sisi itu akan mengantarkan manusia kepada hakikat tasbih, sujud dan ibadah yang diungkapkan oleh ayat tersebut sebagai keyakinan, yang juga dapat berarti hakikat tauhid kepada Sang Pencipta.

Manakala manusia menyusuri ketiga aspek tersebut, dia akan menemukan tiga keadaan jiwa. Pertama, jiwa yang mengendalikan dan memperbudak (an-nafs al-ammarah); kedua, jiwa yang selalu mencela dan menyesali diri sendiri (an-nafs al-lawwamah); dan ketiga, jiwa yang tenang dan tentram (an-nafs al-muthma‘innah).

Jiwa yang memperbudak berada pada tingkatan kelalaian (maqâm al-ghaflah), jiwa yang selalu mencela dan menyesali diri sendiri berada pada tingkatan keinsafan dan keterjagaan (maqâm al-yaqdhah), dan jiwa yang tenang dan tentram berada pada tingkatan pertemuan (maqâm al-wajd).

Dalam tingkatan ketiga, manusia telah menerima dan rela dengan seluruh keadaan yang ada, merasakan hakikat penghambaan sebagai kepasrahan kepada Pencipta dan Tuhannya. Allah berfirman: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan rela dan keadaan yang diridhai-Nya.” (QS 89: 27-28).[2]

Dalam tingkatan ketiga itu, yang sebetulnya ditemukan oleh jiwa adalah hakikat kehambaan, hakikat wujudnya sebagai hamba yang senantiasa menerima dan tidak pernah memberi. Semua kemampuan, bahkan keinginan dan kehendak, bukanlah berasal dari dirinya sendiri, melainkan pemberian dari Tuhan yang Maha Mencipta.

Maka itu, dia akan merasakan kepuasan dan kebebasan, kelonggaran, dan kelapangan yang luarbiasa. Allah berfirman: “Dan kalian tidak melempar ketika kalian melempar, tetapi Allah (yang memberi kalian kemampuan untuk) melempar.” (QS 8: 17).

Pada saat menemukan hakikat dirinya sebagai hamba yang faqîr, manusia akan menangkap makna yang diungkapkan oleh Sayidina Husain bin Ali RA dalam doa beliau di padang Arafah:

ماذا وجد من فقدك و ما الذّي فقد من وجدك، لقد خاب من رضي دونك بدلا

“Apa yang dapat ditemukan oleh orang yang tidak menemukan-Mu? Dan apa yang tidak ditemukan oleh orang yang sudah menemukan-Mu? Sungguh merugi orang yang rela kepada selain-Mu sebagai pengganti.”

Dalam kehidupan ini, memang banyak orang yang menemukan tuhan-tuhan palsu sebagai pengganti Allah SWT. Akan tetapi, “tuhan-tuhan pengganti” yang palsu ini sebenarnya tidak akan pernah mengantarkannya kepada kesempurnaan, kebenaran, dan kepuasan sejati sebagaimana tidak akan puasnya bayi yang menetek pada dot sebagai ganti dari puting ibu yang mengeluarkan air susu sejati.

Tiga keadaan jiwa tersebut senantiasa seiring dengan tiga sifat manusia dalam menghadapi semua bentuk kesempurnaan: kebodohan dan keengganan, keinsafan dan penyesalan, dan ketentraman dan kepuasan.

Sebagai ilustrasi, manusia yang belum mengetahui apa makna dan manfaat jalan kaki akan meremehkan dan cenderung membenci jalan kaki. Dia akan beranggapan bahwa jalan kaki adalah perbuatan yang tidak berguna. Ini disebut dengan tahap kelalaian atau kebodohan. Sayidina Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata: 

الناس اعداء ما جهلوا

“Manusia memusuhi apa yang tidak diketahuinya.”

Namun demikian, begitu dia mengetahui dan menyadari pentingnya jalan kaki bagi kesehatannya, maka dia akan bergiat untuk melakukannya. Pada tahap ini akan muncul berbagai penyesalan, paling tidak, terhadap dua hal: (a) kebodohannya selama ini mengenai manfaat jalan kaki, sehingga banyak waktu terbuang dalam hidupnya tanpa berjalan kaki; dan (b) kekurangsempurnaannya dalam berjalan kaki.

Dua hal ini akan membawa pada penyesalan yang beruntun, sedemikian sehingga dia akan selalu berada dalam kehati-hatian dan kewaspadaan. Tak lama kemudian, dia akan merasakan betapa beruntungnya dia menyadari semua kekurangan ini sebelum ajalnya tiba. Pada tahap ini, dia akan merasakan kepuasan dan ketentraman dalam dirinya lantaran kerelaannya menerima apa yang terjadi padanya.

Ilustrasi di atas berlaku juga bagi seorang pelajar ilmu pengetahuan. Mula-mula dia akan merasakan keengganan untuk belajar. Setelah mengetahui kedudukan pengetahuan, dia akan berubah menjadi rajin dan penuh dedikasi dalam menuntut ilmu pengetahuan.

Dalam keadaan yang demikian, dia akan menyesali waktunya yang telah terbuang sia-sia selama masa keengganannya untuk belajar, sekaligus mencela keterbatasan intelektualnya untuk mempelajari bermacam-macam ilmu yang berguna bagi dirinya.

Dia akan merasakan betapa luas cakrawala ilmu pengetahuan dibandingkan dengan kecerdasan dan kemampuannya untuk mengetahui. Di sini akan muncul kesedihan, penyesalan, celaan atas berbagai kekurangannya sendiri dan ketakpuasan untuk terus mencari dan mempelajari ilmu.

Akan tetapi, setelah mencapai tahap kesadaran dan kedewasaan yang lebih tinggi, dia akan menemukan bahwa semua ilmu yang selama ini dipelajarinya pada hakikatnya adalah sarana untuk merenungi keluasan cakrawala ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dia tidak akan lagi merasa gelisah atau obsessed untuk memiliki seluruh ilmu dan mengetahui segala sesuatu, melainkan dia akan menjadi laksana ilmu itu sendiri, yakni terang dan memberi penerangan pada semua yang di sekitarnya.

Begitu pula, manusia pada mulanya cenderung enggan untuk melaksanakan tuntunan-tuntunan syariat. Menurutnya, semua tuntunan ini hanyalah kekangan bagi kebebasan dan kehendak dirinya, atau dalam bahasa sebagian mereka “syariat adalah pembodohan bagi cara berpikir umat manusia”.

Namun demikian, begitu dia merasakan makna salah satu perintah yang terdapat dalam syariat, maka dia akan mulai mengisi hari-harinya dengan tangis kesedihan dan penyesalan. Dia akan mencela kepongahan dan kedunguannya selama ini, sekaligus menyesali ketakmampuannya untuk menjalankan seluruh perintah Allah dengan benar-benar sempurna. Dia akan dihinggapi pelbagai was-was, keraguan, dan pertanyaan menyangkut kesempurnaan amal-amal yang telah atau sedang dilakukannya.

Setelah masa-masa penyesalan dan tangisan panjang itu, barulah dia akan menemukan bahwa hakikat semua ibadah adalah realisasi penghambaan kepada Allah, sehingga hal ini akan melahirkan kerelaan dan kepuasan di dalam hatinya.

Sebagai hamba, dia akan menyadari bahwa semua kesempurnaan adalah milik Allah, sebagaimana kekurangan dan kelemahan adalah sifat yang tak-terpisahkan dari hamba. Di sini muncul tawakal, kepasrahan, kerendahan hati, keikhlasan, dan kebebasan yang tiada tara. (MK)

Grafik: Gana Islamika

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] ‘Allamah Thabathaba’i, Shi‘a, al-Hidaya Publication, Philippines 1995, hal. 89. 

[2] Rujuk juga (QS 6: 125) dan (QS 39: 22).

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*