Mozaik Peradaban Islam

Pengantar Teosofi Islam (8): Tingkat-tingkat Wujud (3): Bentuk dan Makna

in Studi Islam

Last updated on May 6th, 2020 02:19 pm

Rasulullah SAW bersabda, “Manusia tertidur, kalau sudah mati barulah mereka benar-benar terbangun.”

Foto ilustrasi: yoogyart/steemit

Segala ciptaan adalah Tindakan Allah. Dan Tindakan ilahi adalah bentuk (shûrah atau phenomenon) yang memberikan makna (ma’na atau noumenon) tentang Nama-nama Allah (haqîqah). Setiap bentuk mempunyai sisi makna, dan makna adalah sisi hakiki sesuatu.

Kalau kita katakan X adalah bentuk dari Y, maka Y adalah makna dari X, dan di balik Y itulah terdapat hakikat sesuatu. Jadi, ada rangkaian yang tak terpisahkan antara bentuk yang tampil, makna di balik suatu tampilan, dan hakikat yang mendasari makna tersebut.

Umpamanya, kalau Anda melihat senyuman pada bentuk wajah adik Anda, Anda akan menangkap makna kegembiraan, sedangkan hakikat-nya adalahkegembiraan yang dirasakan dan hadir dalam jiwa adik Anda itu sendiri.

Kata shûrah (صورة) dan pelbagai turunannya dipakai oleh Alquran dalam beberapa ayat. Antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Dalam bentuk apa pun yang Dia kehendaki, Dia menyusunmu. (QS 82: 8)
  2. Sesungguhnya Kami ciptakan kalian, kemudian Kami membentuk kalian… (QS 7: 11)
  3. Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sebagaimana yang Dia kehendaki… (QS 3: 6)
  4. Allah-lah yang menjadikan bumi sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kalian lalu memperbagus bentuk-bentuk kalian… (QS 40: 63)
  5. Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) benar, Dia membentuk kalian lalu memperbagus bentuk-bentuk kalian… (QS 64: 3)
  6. Dialah Allah Maha Pencipta, Maha Pemula dan Maha Pembentuk (QS 59: 24)

Alquran juga menyebut segenap bentuk sebagai tanda (اية atau âyah). Tidak kurang dari 288 kali Alquran menggunakan kata âyah untuk menyebutkan berbagai ciptaan dan kejadian alam. Menurut Alquran, di balik tanda-tanda ini terdapat makna yang dapat ditangkap oleh pemahaman manusia.

Karenanya, di hampir setiap akhir ayat yang berbicara mengenai tanda-tanda, Alquran selalu mengajak manusia untuk menggunakan akal, berpikir, merenung, menangkap, mencermati dan memahami.

Selain masalah tanda (اية), dalam Alquran terdapat juga istilah matsal atau mitsl (مثل). Arti matsal atau mitsl adalah perumpamaan dari Nama dan Sifat Allah. Nama dan Sifat itu tak lain adalah pantulan dari Hakikat Ilahi yang disebut dengan (هو) atau Allah (الله).

Berbagai Nama dan Sifat Allah yang disebutkan dalam Alquran merupakan perumpamaan tentang Hakikat Ilahi itu sendiri. Jadi, tanda-tanda alam ciptaan mengantarkan kita untuk memaknai perumpamaan tentang Nama dan Sifat Allah. Dengan kata lain, tanda adalah suatu perumpamaan yang melukiskan Kehadiran Ilahi.

Untuk menangkap suatu tanda, kita menggunakan panca indera seperti telinga dan mata;  untuk memaknai perumpamaan di balik tanda-tanda, kita menggunakan akal; dan untuk menghayati makna perumpamaan sebagai Nama-nama Suci Allah, kita menggunakan hati.

Apabila panca indera tidak mengantarkan kita untuk memahami seluruh ciptaan sebagai tanda-tanda yang mengandung perumpamaan, maka berarti ada kerancuan pada akal kita; apabila akal tidak mengantarkan kita untuk beriman kepada Hakikat Ilahi, maka berarti ada kekeruhan dalam hati kita yang merupakan dampak dari pelbagai penyakit hati dan dosa.

Di antara alam Nama dan alam fisik yang serba-terbatas ini terbentang alam mitsâl atau barzakh (jembatan) yang berfungsi sebagai perumpamaan dan perantaraan. Dan setiap perumpamaan berfungsi untuk menggambarkan Hakikat Ilahi yang ada di balik segala sesuatu.

Prof. Henry Corbin menerjemahkan alam mitsâl dan barzakh dengan ‘alam imajinal’ untuk membedakannya dengan ‘alam imajiner’, sebab imajiner dalam bahasa Barat berkonotasi tak-nyata sementara imajinal mengacu pada suatu tingkatan yang berperan sebagai citra atau tiruan dari Hakikat yang sesungguhnya.[1]

Tingkatan ‘âlam al-barzakh dan ‘âlam al-mitsâl berperan mengumpamakan dan mencitrakan Hakikat ilahi yang lebih tinggi dan lebih mutlak. Dari perspektif ini, alam perumpamaan bersifat lebih nyata, lebih kaya, lebih luas, lebih mencakup ketimbang alam tanda-tanda fisik tempat tubuh kita hidup.

Apa yang kita anggap nyata secara objektif-empiris sesungguhnya adalah perumpamaan dari Hakikat yang sesungguhnya. Orang tidak boleh gampang-gampang menduga yang nyata secara fenomenal sebagai sungguh-sungguh nyata.

Bukankah orang yang tidak tidur sama-sama berpeluang keliru memahami kenyataan dengan pemimpi memahami mimpinya?! Bahkan, perbedaan kenyataan dalam keadaan terjaga dan kenyataan mimpi adalah relatif semata. Artinya, di saat kita tidur, mimpi menjadi kenyataan, sedangkan dalam keadaan terjaga mimpi menjadi tak-nyata.

Dalam sebuah hadis mulia, Rasulullah Saw bersabda:

الناس نيامٌ اذا ماتوا انتبهوا

“Manusia tertidur, kalau sudah mati barulah mereka benar-benar terbangun.”[2]

Artinya, setelah terbebas dari jeratan sensasi dan benda-benda fenomenal, barulah kita dapat memahami sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Tetapi, selama benda-benda di sekitar kita ini memenjara pikiran dan hati kita, maka selama itu pula kita seperti orang yang sedang bermimpi dalam tidurnya.

Hadis Nabi di atas mempertegas makna ayat Alquran berikut ini: “Sesungguhnya kamu dalam kelalaian tentang (hal) ini, lalu (ketika) Kami singkapkan darimu penutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu menjadi menjadi amat tajam.” (QS 50:22). Penyingkapan sekat fisik ini terjadi pada saat manusia mati, dan di hari kebangkitan kelak.

Alam imajinal dirancang untuk menghubungkan alam rendahan, alam pertumbuhan dan kebinasaan, dengan alam-alam yang lebih tinggi. Sebagai contoh, untuk menangkap hakikat angka dua, kita mesti terlebih dahulu melihat beberapa benda fisik, katakanlah dua gelas kopi. Kemudian, kita akan mengumpamakan dua gelas kopi dalam benak kita tanpa melihat pada wujud fisik kedua gelas kopi tersebut.

Setelah itu, barulah kita akan memulai berpikir mengenai hakikat angka yang lebih abstrak dan lebih universal. Dengan demikian, perumpamaan diperlukan untuk mengantarai (mediate) tanda-tanda fisik angka dan hakikat abstraknya.

Wilayah perumpamaan adalah tahapan perantaraan. Umpamanya, bila kita sedang berpikir mengenai cinta, maka yang mula-mula terlintas di benak adalah bentuk-bentuk yang kita cintai dan tanda-tanda kecintaan yang bersifat fisik dan partikular.

Lalu kita akan mencari tanda-tanda non-fisik yang lebih universal seperti ketaatan dan pengabdian. Lalu kita akan bergerak untuk memasuki wilayah mengumpamakan kecintaan kepada seseorang atau sesuatu.

Pada tahap mengumpamakan kecintaan kepada seseorang atau sesuatu, kita telah memasuki kecintaan dalam lingkup yang lebih universal dan lebih mutlak. Lalu kita akan memasuki wilayah kecintaan yang lebih hakiki berupa ketulusan dan kepasrahan.

Dan akhirnya kita akan memasuki hakikat kecintaan dalam bentuk peleburan menyeluruh dalam Sang Kekasih Mutlak, yaitu Allah. Demikianlah, tanda (âyah) dan perumpamaan cinta akan mengantarkan kita menapaki jenjang-jenjang perjalanan menemukan Hakikat Cinta. (MK)

Grafik: Gana Islamika

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lebih lanjut, rujuk: Henry Corbin, The Creative Imagination in The Sufism of Ibn Arabi, Princeton University Press, 1969.

[2] William Chittick,Op.Cit. hal. 119.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*