Mozaik Peradaban Islam

Seyyed Hossein Nasr (2): Filsafat Perennial: Kembali ke Masa Depan? (2)

in Studi Islam

Last updated on December 2nd, 2019 11:01 am

“Saya tak pernah menolak temuan Galileo tentang jumlah bulan yang mengelilingi planet Jupiter, atau temuan-temuan lainnya yang tak terlalu penting bagi Tradisi.” Tapi yang ditolak Nasr adalah keyakinan akan tak adanya Pencipta.

Seyyed Hossein Nasr. Foto: Sahil Badruddin

Oleh Zainal Abidin Bagir[1]

Gagasan sentral lain dalam filsafat perennial adalah tentang Rantai Keberadaan (Great Chain of Being), yang mengimplikasikan adanya hirarki ontologis, sementara sains modern berkembang pesat tanpa asumsi ini. Huston Smith melihat adanya kecurigaan umum yang keras terhadap segala gagasan tentang hirarki, karena dianggap memberi dasar bagi penindasan dan totalitarianisme.

Namun bagi Smith, yang disetujui Nasr, hirarki tak serta merta berarti penindasan. Sementara relatifisme justru tak tak berdaya meruntuhkan totalitarianisme karena menafikan adanya tolok ukur sebagai alat pengoreksi pandangan yang keliru. Jadi relatifisme atau absolutisme perennial sama saja: bisa mendudukung penindasan bisa menetangnya.

Dalam tulisannya tentang filsafat perennial dalam konteks publik, Robert C. Neville, pendukung perennialisme, punya kritik lain terhadap Nasr. Ia melihat Nasr terlalu terikat dengan bentuk kuno perennialisme, dan tak mau belajar dari beberapa aspek positif modernisme, seperti sekularisasi politik, yang menafikan otoritas dan menghormati toleransi. “Bagaimana mungkin (Nasr) yang lari dari Revolusi Islam menyanjung otoritas?” tanyanya.

Nasr menganggap ada dua kesalahpahaman di sini. Pertama, benar bahwa dalam masyarakat religius-tradisional ada penindasan atas nama absolutisme tradisi; tapi dunia modern sekular tak lebih baik dari segi ini. Jumlah manusia yang dibantai atas nama nasionalisme, fasisme, dan komunisme di abad 20 tak lebih sedikit. Selain itu, Tradisi juga membedakan otoritas yang benar dan sesat.

Satu hal lain yang juga menjadi sasaran kritik Neville, Aminrazavi, dan beberapa penulis lain adalah sikap amat kritis Nasr terhadap sains modern. Nasr menjawabnya dengan mengatakan, “Saya tak pernah menolak temuan Galileo tentang jumlah bulan yang mengelilingi planet Jupiter, atau temuan-temuan lainnya yang tak terlalu penting bagi Tradisi.” Yang ditolaknya adalah pandangan dunianya, khususnya keyakinan akan tak adanya Pencipta, yang sebetulnya tak bisa disimpulkan oleh sains.

Dari sisi ini, tulisan Wolfgang Smith amat menarik. Matematikawan penganut perenialisme ini menunjukkan bahwa filsafat perennial, dengan sedikit modifikasi, memiliki model ontologi yang bisa menjelaskan paradoks mekanika kuantum. Smith menganggap upaya ini sebagai memenuhi anjuran Nasr agar fisikawan “mengintegrasikan fisika ke tatanan ilmu yang lebih tinggi (perennial).”

Bagaimana pun, penolakan Nasr atas teori evolusi Darwin dianggap memberikan nama buruk bagi perennialisme. Menilik jawabannya atas tuduhan ini, Nasr tampaknya masih terjebak pandangan keliru yang populer tentang evolusi. Tak adakah kemungkinan mengintegrasikan teori evolusi ke “tatanan ilmu yang lebih tinggi”?

Selain respons terhadap modernisme, di bagian lain buku setebal seribu halaman ini beberapa sarjana non-Muslim membahas dan mengajukan kritik-krtitik terhadap perenialisme sebagai dasar perbandingan agama.

Pengkaji filsafat Islam seperti Chittick dan Hosein Ziai menulis tentang tema-tema perennial dengan cemerlang. Sementara Parviz Morewedge mengajukan keberatan terhadap cara “non-rasional” Nasr dalam memahami tradisi filsafat Islam. Ia yakin filsafat Islam bisa ditampilkan sebagai filsafat rasional yang sensitif terhadap pandangan filosof Barat seperti Wittgenstein, misalnya.

Pada akhirnya Nasr mengakui bahwa ia tak bisa sepenuhnya mempertimbangkan setiap pandangan dan keberatan modern. Pertama, jumlahnya terlalu banyak. Lalu, banyak aliran yang muncul sebentar lalu tak dianggap terlalu penting lagi, seperti strukturalisme. Haruskah filsafat perennial menjawab semua keberatan itu? Baginya itu adalah tugas orang lain.

Filsafat ini telah ada di masa lalu dan akan tetap hidup di masa depan. “Tugas hidup saya adalah menyajikannya secara otentik kepada audiens modern,” ujarnya. Seperti diakui banyak penulis di buku ini, baik yang mendukung ataupun mengkritiknya, Nasr telah berhasil dengan baik melaksanakan tugas itu.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Zainal Abidin Bagir, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM. Seri artikel Seyyed Hossein Nasr yang ditulis oleh Zainal Abidin Bagir ini tadinya berasal dari tiga artikel yang ditulis oleh beliau di Koran Tempo (Suplemen Ruang Baca) pada 11 Februari 2002. Atas izin dari yang bersangkutan, Redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk menerbitkan kembali tulisan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*