Mozaik Peradaban Islam

Seyyed Hossein Nasr (3): Riwayat Hidup: Manusia “Pontifikal” di Pengasingan Barat

in Studi Islam

Last updated on December 6th, 2019 11:40 am

Nasr menulis buku Islam dalam Cita dan Fakta, menurut William C. Chittick, mungkin inilah satu-satunya buku tentang Islam yang ditulis Muslim taat tapi tak menyingung perasaan orang Kristen.

Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan Paus Francis. Foto: Pakboy26

Oleh Zainal Abidin Bagir[1]

Nasr tak akan menolak, atau justru bangga, disebut bukan manusia modern. Baginya manusia modern adalah manusia Promethean, yang memberontak melawan Langit meski sukses hidupnya di dunia. Nasr mempertentangkan jenis manusia ini dengan manusia “Pontifikal”, atau manusia Tradisional, “yang hidup dalam dunia yang memiliki Asal dan Pusat.”

Nasr adalah manusia tradisional yang hidup di negara paling modern, sembari dengan teguh menolak modernisme—sebagai suatu pandangan dunia–tanpa rasa rendah diri sama sekali. 20 tahun terakhir hidupnya ini ia sebut sebagai, meminjam judul risalah Suhrawardi ,“Occidental Exile” atau Pengasingan di Barat.

Barat bukanlah tempat asing bagi Nasr sejak masa remajanya. Lahir pada 1933, ia telah meninggalkan rumah tradisionalnya untuk hidup di Amerika Serikat ketika berusia 13 tahun. Ayahnya, dokter dan pendidik terpandang yang dipercayai penguasa waktu itu, mengirimnya untuk bersekolah di sebuah SMU berkualitas di New York. Selesai SMU, ia langsung masuk universits terbaik dunia, MIT, jurusan fisika.

Di sinilah ketertarikannya kepada tradisi mulai muncul, ketika ia bertemu sejarawan sains Giogio de Santillana, yang kemudian memperkenalkannya kepada literatur tentang Hinduisme karya Rene Guenon. Dari Guenon, jalan ke para tradisionalis lain terbuka: Coomaraswamy, Schuon, Burckhardt, Martin Lings, dan sebagainya.

Bacaan intensif metafisika tradisional inilah yang kemudian mengantarkannya kepada, kata Nasr, “keyakinan intelektual yang dalam, yang sejak itu tak pernah meninggalkanku lagi.” Krisis intelektual yang sempat dialaminya selesai sudah. Setelah itu ia mempelajari metafisika Abad Pertengahan Barat, Lao-Tsu dan Chuang Tsu, dan akhirnya, “Saya kembali ke kampung halaman spiritual saya (Islam dan tasawuf),” tulisnya.

Selesai S-1 di MIT, ia melanjutkan ke Harvard untuk mempelajari geologi dan geofisika, namun kemudian berubah ke sejarah ilmu dan filsafat, berkonsentrasi pada sains tradisional Islam. Di tahun-tahun inilah ia menjalin kontak dengan kaum tradisionalis yang sebagian besar tinggal di Eropa. Pada 1958, ia memutuskan untuk pulang, sebagai orang Iran pertama yang mendapat gelar doktor dari Harvard.

Di Tehran ia menjumpai fukaha yang menganggap filsafat sebagai ilmu kafir, dan kaum modernis yang terbenam dalam filsafat Barat (khususnya Marx, Sartre, dan Heidegger) sembari memperolok filsfat tradisional. Baginya situasi ini hanya dapat diselesaikan dengan satu cara: bukan dengan berpolemik—baik dengan para fukaha maupun modernis—tapi dengan menunjukkan kekayaan tradisi filsafat Islam.

Di saat itulah ia memutuskan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional Islam di madrasah. Ia menjalani pendidikan ini selama 10 tahun, di bawah bimbingan beberapa ulama terkenal, di antaranya Allamah Thabathaba’i. Di masa ini ia juga berjumpa Henri Corbin dan Toshihiko Izutsu yang mempengaruhi pemahamannya atas metafisika Islam. Dengan bekal beragam jenis ilmu itu, Nasr pun mulai berkarya dalam banyak bidang sekaligus: filsafat, sains, dan tasawuf.

Hingga tahun 1978, belasan buku ditulisnya. Di antaranya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah Sains dan Peradaban dalam Islam, Tiga Pemikir Islam, Islam dalam Cita dan Fakta (menurut Chittick, mungkin inilah satu-satunya buku tentang Islam yang ditulis Muslim taat tapi tak menyingung perasaan orang Kristen), Tasauf Dulu dan Sekarang, Islam Syiah, dan Islam dan Nestapa Manusia Modern.

Pada tahun 1979, pertentangan antara elit politik dan kaum agamawan yang didukung massa meruncing, dan berujung pada Revolusi Islam. Posisi Nasr terjepit, karena sebelumnya ia dikenal dekat dengan kalangan penguasa.

Menurut pengakuannya, yang sejak Revolusi baru ditulisnya untuk pertama kali dalam otobiografi intelektualnya, hingga 1978 semua jabatannya berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan. Namun pada tahun krisis itu, Syahbanu Farah memintanya mengetuai biro khusus yang mengawasi aktivitas kebudayaan di negeri itu.

Merasa dapat menjadi jembatan di antara dua kelompok itu, ia menerimanya. Inilah keputusan yang akhirnya menjadikannya dipandang sebagai antek Syah, dan memaksanya untuk meninggalkan Iran untuk selamanya, hingga hari ini.

Selain mengajar di Texas dan lalu Philadelphia, aktifitas intelektual penting Nasr yang pertama adalah memenuhi undangan Gifford Lectures yang amat prestisius pada 1981. Malangnya, catatan-catatan beserta buku-bukunya yang ada di Teheran telah dihancurkan massa. Ia hanya punya waktu 3 bulan untuk menulis semuanya dari awal.

Buku yang kemudian terbit dari ceramah itu, Knowledge and the Sacred, praktis ditulis dengan kecepatan satu bab per minggu, diselingi pulang-pergi Boston-Philadelphia. Menurut Wolfgang Smith, buku yang telah diterjemahkan ke empat bahasa Eropa ini menandai kembalinya hikmah perennis ke dunia modern.

Dalam masa 20 tahun sejak itu, karirnya pun menanjak cepat. Buku-buku monumental seperti 2 jilid Islamic Spirituality dan History of Islamic Philosophy, serta ratusan artikel lain telah ditulisnya. Tak ketinggalan adalah kaset dan CD pembacaan puisi-puisi Rumi. Hingga akhirnya, puncak pengakuan akan capaian filsafat Profesor Kajian Islam di Universitas George Washington ini diperolehnya sebagai tokoh dalam The Library of Living Philosophers.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Zainal Abidin Bagir, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM. Seri artikel Seyyed Hossein Nasr yang ditulis oleh Zainal Abidin Bagir ini tadinya berasal dari tiga artikel yang ditulis oleh beliau di Koran Tempo (Suplemen Ruang Baca) pada 11 Februari 2002. Atas izin dari yang bersangkutan, Redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk menerbitkan kembali tulisan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*