Mozaik Peradaban Islam

Pengantar Teosofi Islam (17): Cahaya di Atas Cahaya (4): Cahaya Ilahi (2)

in Studi Islam

Last updated on June 11th, 2020 01:12 pm

An-Nasafi menulis: “Ayat ‘Dia menciptakan tujuh langit’ (QS 65: 12) tidak membuktikan bahwa tidak ada lagi langit yang lain kecuali yang tujuh itu.”

Foto utama: hdwallpapersbackgrounds.us

Dalam sebuah hadis, Baginda Nabi bersabda: “Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati seorang hamba yang dikehendaki-Nya.”

Ilmu disebut cahaya karena memang ilmu itu bersifat terang dan menerangi pemiliknya. Dengan ilmu pengetahuan manusia bisa berjalan menyusuri kehidupan secara jernih dan bening, merenungi beragam ciptaan, menyingkap misteri-misteri kehidupan, menegakkan keadilan, menumbuhkan kesejahteraan dan menggapai cita-cita luhur berupa kebahagiaan abadi.

Jadi, ilmu adalah obor yang menyinari kehidupan dengan pelbagai manfaat yang tak ternilai.

Dalam surah al-Maidah ayat 16, Allah menggambarkan Rasulullah Saw sebagai cahaya: Sesungguhnya telah datang dari Allah kepada kalian sebuah cahaya dan kitab yang jelas.

Demikian pula dalam surah al-Ahzab ayat 46, Allah menyebutkan Baginda Nabi Saw sebagai “Pelita yang memancarkan cahaya.”

Al-Habib Syaikh Abu Bakar bin Salim dalam Shalâh At-Tâj menyebut Baginda Rasul sebagai matahari di pagi hari, purnama di malam yang kelam, cahaya petunjuk, pelita bagi kegelapan, dan tuan di kedua alam (yang tampak maupun yang tak-tampak). Lalu, beliau berseru:

فيا ايّها المشتقون لنور جماله صلّوا عليه واله و سلّموا تسليما

(Wahai orang-orang yang rindu akan cahaya keindahannya, sampaikanlah salawat dan salam yang bersungguh-sungguh kepada beliau dan keluarganya).

Bagaimanapun, di samping sifat-sifat di atas, Cahaya Ilahi memiliki sifat-sifat lain yang tidak dimiliki oleh semua cahaya selain-Nya, seperti kemutlakan, kemandirian (qayyûm), keabadian, keazalian, Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Mahabijaksana, Mahakuasa, Maha Pengatur, Mahasuci dan Mahakudus (subbûh quddûs), Maha Pemberi rezeki, Maha Pengampun dan Penerima tobat, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan lain sebagainya.

Maksud Allah mengumpamakan Wujud-Nya dengan cahaya dalam ayat di atas, menurut beberapa ahli tafsir, adalah karena cahaya bersifat:

الظاهرلحقيقة نفسه المظهرلغيره

(Menampakkan dirinya sendiri dan menampakkan selainnya). Artinya, Allah adalah Wujud yang mewujud dengan sendiri-Nya dan mewujudkan semua selain-Nya. Dan karena wujud sama dengan segala sesuatu, maka Allah adalah Dzat Mahaterang sekaligus Penerang semua yang ada.

Dalam doa Nabi Khidir disebutkan:

بنور وجهك الذي اضاء له كلّ شيء

(Dengan Cahaya Wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu).

Mengenai hal yang sama, Mulla Hadi Sabzawari menyatakan:

بنور وجهه ﺇستنار كلّ شيء،  وعند نور وجهه سواه فيء  

(Dengan Cahaya Wajah-Nya segala sesuatu menjadi terang, dan dalam Cahaya Wajah-Nya segala sesuatu akan musnah menghilang).

Istilah langit dan bumi dalam ayat 35 surah an-Nur merujuk kepada seluruh maujud yang tercipta. Kata langit (سماء) digunakan dalam Alquran kira-kira sebanyak 310 kali, sedangkan kata bumi (ارض) digunakan sebanyak 460 kali. Makna dasar dari kata samâ` (langit) adalah “yang lebih tinggi, lebih atas, paling atas, bagian atas dari sesuatu,” yang lantas diterapkan pada angkasa, awan, hujan dan karunia.

Sebaliknya, makna dasar ardh (bumi) adalah “rendah, lemah-lembut ketika diinjak-injak dan didiami, berusaha dan menghasilkan,” yang lantas diterapkan untuk tempat tinggal manusia, tanah, lantai, dan segala sesuatu yang rendah.

Izzuddin an-Nasafi memahami penjajaran langit dan bumi dalam Alquran sebagai menunjukkan jenis hubungan tertentu, yaitu hubungan antara sesuatu “yang memberi atau melimpahkan (faydh)” dan sesuatu “yang menerima atau menampung limpahan (istifâdhah)”.

Dalam pandangannya, kedua istilah itu dapat mengacu pada setiap pemberi dan penerima, subjek dan objek, aksi dan potensi atau sebab dan akibat. Ungkapan “segala sesuatu di antara keduanya” yang terdapat dalam beberapa ayat Alquran, seperti dalam surah ar-Rum (30) ayat 8, mengacu pada hasil hubungan tersebut. Jika dipahami dalam pengertian ini, langit dan bumi mencakup semua eksistensi ciptaan Allah, termasuk maujud-maujud rohaniah. 

An-Nasafi lalu menulis:

“Kini kalian telah mengetahui bahwa pelimpah dari jenis apa pun adalah langit; dan penerima dari jenis apa pun adalah bumi. Maka, terbuktilah bagimu bahwa jumlah langit dan bumi tidak dapat diketahui oleh siapa pun. Ayat ‘Dia menciptakan tujuh langit’ (QS 65: 12) tidak membuktikan bahwa tidak ada lagi langit yang lain kecuali yang tujuh itu.”[1]

Pada bagian akhir penjelasannya, an-Nasafi memberikan kesimpulan:

“Tidak ada benda yang berada di luar tiga ini: Pelimpah, penerima limpahan, atau yang muncul dari keduanya.”[2]

Dalam bahasa Arab kata nûr mempunyai akar kata yang sama dengan nâr (api), lantaran efek keduanya senantiasa beriringan dan berkaitan; api pastilah mengandung cahaya dan cahaya bersifat membakar seperti api.[3]

Perumpamaan Allah sebagai nûr sesungguhnya juga untuk menunjukkan bahwa di balik Wajah yang Terang dan Menerangi, Dia juga memiliki Wajah yang Membakar dan Meluluhkan. Dalam kaitan ini, seperti telah kita kutip sebelumnya, Baginda Nabi Saw pernah bersabda:

“Sesungguhnya pada Allah terdapat tujuh puluh ribu hijab dari cahaya dan kegelapan. Bilamana Dia menyingkapkan kesemuanya, maka hanguslah rona-rona wajah ciptaan yang sempat melihat Hakikat-Nya.”[4]

Makna sabda mulia ini adalah bahwa hijab-hijab cahaya dan kegelapan itu justru berfungsi untuk menjadi sarana-sarana pemancaran Cahaya Ilahi ke alam ciptaan. Tanpa perantaraan sedemikian, alam ciptaan ini tidak akan sanggup menerima Cahaya Ilahi tersebut.

Oleh karena itu, setelah mengumpamakan Wujud-Nya dengan Cahaya langit dan bumi, ayat 35 surah an-Nur itu lantas berbicara tentang proses penjelmaan dan penampakan Cahaya Ilahi tersebut. Allah menunjukkan bahwa Cahaya Ilahi yang sedemikian Mutlak itu mestilah melalui berbagai medium untuk dapat menerangi kegelapan alam ciptaan.

Ada misykât (ceruk untuk meletakkan pelita), mishbâh (pelita), zujâjah (kaca bening) yang mirip dengan bintang yang bersinar seperti mutiara (kaukabun durry), pohon zaitun yang penuh berkah dan minyak zaitun yang terang menyala-nyala walau tak tersentuh api. Dan kemudian Allah menyebutkan bahwa Cahaya-Nya adalah “Cahaya di atas cahaya.

Cahaya Ilahi merupakan Cahaya di atas cahaya yang sedemikian Esa dan Tunggal, sehingga tidak bisa Ia menampakkan Diri-Nya kecuali melalui hijab-hijab cahaya dan kegelapan, tangga-tangga penciptaan, medan-medan gelombang, tahap-tahap emanasi dan iluminasi, dan sebagainya. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Sachiko Murata, Op.Cit, hal. 168.

[2] Ibid.

[3] Abu al-Qasim al-Raghib al-Isfahani, Op.Cit., entri nûr.

[4] Sayid Jalaluddin Aystiyani dalam pengantar buku Mishbâh al-Hidâyah ila al-Khilâfah wa al-Wilâyah karya Ruhullah al-Musawi al-Khomeini, hal. 12. 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*