Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Luth (2): Diutusnya Keponakan Nabi Ibrahim

in Studi Islam

Last updated on October 1st, 2019 12:45 pm

“Sesungguhnya kamu telah mendatangi lelaki untuk syahwat bukan wanita bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (Q.S Al-Araf [7]: 81)

Foto Iustrasi: Lukisan karya Peter Paul Rubens yang berjudul Sodom and Gomorrah

Nabi Luth AS hidup di masa yang sama dengan Nabi Ibrahim AS, hubungan di antara keduanya adalah sebagai keponakan dan paman. Ayah Luth merupakan saudara kandung Ibrahim. Al-Tabari meriwayatkan, Luth beriman kepada kenabian Ibrahim, sang kesayangan Allah, dan mengikuti agama yang diajarkan olehnya.

Mereka kemudian melakukan perjalanan dari Babilonia menuju ke Suriah sebagai pelarian. Sarah binti Nahor, atau dalam versi lain dikatakan Sarah binti Hanal binti Nahor, juga ikut bersama mereka. Juga dikatakan, bahwa ayah Ibrahim, Terah, juga ikut pergi bersama mereka.

Ketika melakukan perjalanan bersama mereka, Terah masih tetap menentang ajaran Ibrahim. Ketika mereka mencapai Harran, Terah meninggal, masih dalam keadaan kafir. Ibrahim, Luth, dan Sarah kemudian melanjutkan perjalanan ke Suriah, dari sana mereka lalu bertolak menuju ke Mesir.

Di Mesir mereka bertemu dengan Firaun, dikatakan bahwa firaun pada masa ini adalah Sinan bin Alwan bin Ubayd bin Uwayj bin Imlaq bin Lud bin Sem bin Nuh. Dikatakan juga bahwa dia adalah saudara laki-laki dari al-Dahhak, raja Persia kuno, yang telah menunjuknya menjadi gubernur Mesir.

Setelah dari Mesir, Ibrahim, Luth, dan Sarah kembali ke Suriah. Dikatakan bahwa Ibrahim kemudian menetap di Palestina, dan menempatkan keponakannya, Luth, di Yordania. Allah kemudian mengutus Luth untuk menjadi nabi bagi penduduk kota Sodom di Yordania.[1]

Peristiwa diutusnya Luth tercatat di dalam Alquran, “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth. (Ingatlah) ketika dia berkata kepada kaumnya, ‘Apakah kamu mengerjakan fahisyah yang tidak satu pun mendahului kamu mengerjakannya di alam raya. Sesungguhnya kamu telah mendatangi lelaki untuk syahwat bukan wanita bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas.’.” (Q.S Al-Araf [7]: 80-81)

Dalam Surat Al-Araf, sebelum ayat di atas, telah dikisahkan kisah para nabi-nabi sebelumnya, yaitu Nuh, Hud, dan Shaleh. Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan kenapa Surat Al-Araf setelah menceritakan kisah Nabi Shaleh langsung melompat kepada kisah Nabi Luth, bukannya kepada kisah Nabi Ibrahim yang kedudukannya jauh lebih tinggi?

Quraish Shihab berpendapat, bahwa tampaknya hal tersebut disebabkan karena surat ini bermaksud memaparkan kisah umat nabi-nabi yang durhaka dan dijatuhi hukuman oleh Allah. Sementara itu, umat Ibrahim tidak dijatuhi hukuman oleh Allah, karena beliau tidak memohon jatuhnya hukuman terhadap mereka, melainkan beliau meninggalkan mereka dan berhijrah ke tempat lain.

Quraish Shihab kemudian menjelaskan tentang fahisyah. Fahisyah adalah tindakan homoseksual yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh makhluk hidup manapun di dunia ini. Para lelaki di kota Sodom mendatangi lelaki lagi untuk melampiaskan syahwat (nafsu), bukannya kepada wanita sebagaimana mestinya.

Hal tersebut mereka lakukan bukan karena di sana tidak ada wanita, atau para wanita tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, melainkan penduduk kota ini memang durhaka dan melampaui batas, yakni melakukan pelampiasan syahwat bukan pada tempatnya.

Ayat ini juga tidak menyebut Luth sebagai saudara mereka sebagaimana halnya terhadap Nabi Hud, Shaleh, dan Syuaib. Ketika menguraikan kisah ketiga nabi yang disebut terakhir, Alquran menyatakan bahwa Hud adalah saudara Kaum Ad, Shaleh adalah saudara Kaum Tsamud, dan Syuaib adalah saudara Kaum Madyan.

Baca juga:

Ketiadaan penyebutan kata “saudara” bagi Nabi Luth terhadap penduduk kota Sodom mengisyaratkan bahwa beliau bukan berasal dari suku atau keturunan msayarakat kota tersebut. Sebagaimana telah diterangkan di atas, Luth adalah pendatang.

Ayat di atas juga tidak menyebutkan nama kaum Luth tersebut — sebagaimana ayat-ayat yang menyebut nama kaum Nabi Hud (Ad), Shaleh (Tsamud), dan Syuaib (Madyan). Hal tersebut merupakan bentuk pengajaran kepada umat Islam agar merahasiakan nama pelaku kejahatan, apalagi jika kejahatan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sangat buruk dan dapat merangsang orang lain untuk melakukannya juga.

Tidak ada satu pun ayat yang menyebutkan nama kaum Luth, berbeda dengan nabi-nabi yang lain. Memang, Nabi Nuh pun tidak disebut nama kaumnya, karena ketika itu, umat manusia belum terpencar-pencar, baik tempat tinggalnya maupun suku-suku bangsanya.

Di dalam ayat di atas, Nabi Luth juga tidak disebutkan mengajak umatnya untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan Tuhan Yang Maha Esa. Tidak seperti nabi-nabi sebelumnya yang berkata, “Wahai kaumku sembahlah Allah tidak ada bagi kamu satu Tuhanpun selain-Nya.”

Ini bukan berarti bahwa beliau tidak mengajak mereka kepada tauhid, tetapi ada sesuatu yang sangat buruk yang hendak beliau luruskan bersama pelurusan aqidah mereka, yaitu kebiasaan buruk mereka dalam hal perilaku seksual yang menyimpang.[2]

Perkara homoseksual ini begitu penting, bahkan kelak Kaum Luth nantinya akan mendapatkan hukuman seperti kaum-kaum lain yang menyembah berhala, padahal jenis dosa yang mereka lakukan berbeda. Hal ini menunjukkan perkara ini begitu serius bagi Allah SWT. Penjelasan tentang hal ini akan disampaikan dalam artikel selanjutnya. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:


[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 111-112.

[2] Tafsir Surat Surat Al-A’raf Ayat 80-81 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 159-160.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*